Langsung ke konten utama

MENGUJI KETENTUAN POLIGAMI DALAM UU PERKAWINAN

Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan judicial review Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) terhadap UUD 1945 pada hari Kamis (10/5) lalu di ruang sidang MK, Jalan Medan Merdeka Barat No. 7, Jakarta Pusat. Sidang yang mengagendakan pemeriksaan pendahuluan tersebut dipimpin oleh Ketua Panel Hakim Konstitusi Letjen (Purn) H. A. Roestandi, SH. dengan anggota Prof. Dr. HM Laica Marzuki, SH. dan Maruarar Siahaan, SH. dan dibantu oleh Panitera Pengganti Wiryanto, SH., M.Hum.
Perkara yang diregistrasi pada hari Jumat tanggal 20 April 2007 dengan nomor 12/PUU-V/2007 ini diajukan oleh M. Insa, S.H., seorang wiraswastawan asal Bintaro Jaya, Jakarta Selatan.
Pada sidang tersebut, Insa meminta Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 3 Ayat (1) dan ayat (2), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 5 ayat (1), Pasal 9, Pasal 15, dan Pasal 24 UU Perkawinan bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2), Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 serta menyatakan materi muatan pada pasal-pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Insa menganggap pasal-pasal dalam UU Perkawinan tersebut telah merugikan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan kebebasan beragama yaitu untuk beribadah dan membentuk keluarga serta melanjutkan keturunan melalui poligami yang sah menurut Hukum Perkawinan Islam yang telah diakui oleh undang-undang.
Selanjutnya Insa juga menambahkan, dengan diberlakukannya pasal-pasal tersebut, ia merasa dihalang-halangi oleh petugas pencatat perkawinan dengan tidak bersedia mencatatkan perkawinan poligaminya yang sah sesuai hukum perkawinan Islam tersebut pada Kantor Urusan Agama. Dengan tidak dicatatkannya perkawinan tersebut, maka perkawinannya yang sah itu disebut perkawinan siri sehingga berbeda kekuatan hukumnya dalam hal menyangkut masalah waris, hak anak-anak, dll.
Selain itu, Insa juga menganggap poligami merupakan salah satu hak warga negara dalam rangka menjalankan ibadah sesuai agama Islam yang dijamin oleh UUD 1945. “Akibat adanya pasal-pasal tersebut, seorang muslim laki-laki yang ingin menjalankan sunnah Rasul melalui perkawinan poligami menjadi terhalangi karena sulit mendapat ijin dari istri pertama,” tandasnya.
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Roestandi menyarankan Pemohon untuk memperbaiki permohonan dengan lebih memperkuat dalil-dalil permohonannya karena tidak semua ahli hukum Islam memiliki pendapat yang sama tentang hal tersebut. Sementara Hakim Maruarar memberi masukan agar permohonan lebih difokuskan pada substansi yang dimohonkannya dan menghilangkan kesan-kesan yang dapat mengundang keterlibatan pihak lain yang tidak terkait permohonan. “Jangan sampai permohonan Saudara memunculkan front-front baru dengan kalangan aktivis perempuan,” ingatnya.
Pemohon diberi waktu dua minggu untuk memperbaiki permohonannya. (ardli)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AKAD SEWA-MENYEWA ( IJĀRAH ) DALAM HUKUM ISLAM

Oleh: Wira Sutirta A. Pengertian Akad Akad adalah suatu perikatan antara ijāb dan qabūl dengan cara yang dibenarkan syara’ yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada objeknya. Ijāb adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan, sedangkan qabūl adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya. Contoh ijāb adalah pernyataan yang menyewakan, “Saya telah menyewakan rumah ini kepadamu”. Contoh qabūl, “Saya sewa rumahmu”. Atau “Saya terima rumahmu”. Dengan demikian, ijāb-qabūl adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridhaan dalam berakad di antara dua orang atau lebih, sehinga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’. Oleh karena itu, dalam Islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada keridhaan dan syariat Islam. Dari pengertian tersebut, akad terjadi antara dua pihak dengan sukarela dan menimbulkan kewajiban atas masing

KATEGORI PERBUATAN ZINA

Dalam pengertian zina, terkandung beberapa hal yang menentukan apakah sebuah perbuatan itu termasuk zina secara syar`i atau tidak, antara lain : Pelakunya adalah seorang mukallaf , yaitu aqil dan baligh. Sedangkan bila seorang anak kecil atau orang gila melakukan hubungan seksual di luar nikah maka tidak termasuk dalam kategori zina secara syar`i yang wajib dikenakan sangsi yang sudah baku. Begitu juga bila dilakukan oleh seorang idiot yang para medis mengakui kekuranganya itu. Pasangan zinanya itu adalah seorang manusia baik laki-laki ataupun seorang wanita. Sehingga bila seorang laki-laki berhubungan seksual dengan binatang seperti anjing, sapi dan lain-lain tidak termasuk dalam kategori zina, namun punya hukum tersendiri. Dilakukan dengan manusia yang masih hidup . Sedangkan bila seseorang menyetubuhi seorang mayat yang telah mati, juga tidak termasuk dalam kategori zina yang dimaksud dan memiliki konsekuensi hukum tersendiri. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa zina itu hanyalah bil

KAMPUNG WISATA LINGKUNGAN "SUKUNAN" YOGYAKARTA

Desa Sukunan resmi menjadi Kampung Wisata Lingkungan pada tanggal 19 Januari 2009. Desa Sukunan terletak di Kelurahan Banyuraden, Kecamatan Gamping, Sleman atau sekitar 5 Km dari arah Barat Tugu Yogyakarta dan dapat ditempuh selama ± 15 menit. Sebagai Kampung Wisata Lingkungan, Desa Sukunan menawarkan beragam kegiatan berbasis lingkungan kepada pengunjungnya. Kegiatan yang biasa disebut “ecotourism” atau wisata lingkungan ini sebenarnya mulai dilakukan sejak tahun 2003, yaitu saat desa ini mulai merintis untuk menjadi desa berbasis lingkungan. Desa Sukunan dikenal sebagai desa berbasis lingkungan diantaranya karena sistem pengolahan sampah secara mandiri telah berjalan dengan baik. Sistem pengolahan sampah ini dimulai dari tingkat rumah tangga hingga kelompok dan menghasilkan berbagai macam kerajinan dan produk dari barang bekas atau sampah khas Sukunan. Warga Sukunan sudah membiasakan diri untuk mengolah sampah menjadi barang bernilai ekonomi tinggi, dan bukan membuangnya begitu saja